Jokowi: Jika Menjadi Presiden, Jakarta Benar-benar Dibenahi?
Denpasar, Maret 10, 2014
Banyak pernyataan yang keluar dari lawan-lawan politik, khususnya mereka yang masih keblinger dengan kekalahan pasangan pemimpin Jakarta 2 tahun lalu. Khususnya, mereka yang sudah mengeluarkan, segala upaya, dana, keringat, goyangan, sampai menciptakan lagu-lagu untuk mendiskreditkan Jokowi, dan Ahok.
Kini seperti lagu lama lagi, mereka mengeluarkan jurus yang itu-itu saja, bagaikan lagu dangdut yang sudah kedaluwarsa, tetapi masih nyaman digunakan.
Untuk itu mari kita lihat secara terbuka, dari prospektif saya, yang sudah terbiasa dengan sistem demokrasi di Amerika Serikat, dimana black campaign, SARA campaign, lawakan campaign, dangdutan campaign, dan segala cara campaign dari Jim Crow book.
Jokowi, berkampanye dengan Ahok, menggunakan kampanye positif, dan uplifting. Cara kampanye yang sangat efektif, karena cocok dengan karater dan latar belakang Jokowi sendiri. Dan juga koalisi Gerindra, dan PDI-P adalah koalisi yang minoritas.
Tetapi, minoritas dana, dan kekuatan ini bisa di imbangi dengan gaya kampanye yang menjanjikan ‘Perubahan’, bukan Politik, tetapi Birokrasi. Karena partai koalisi lawan Jokowi-Ahok, merasa mereka berada diatas angin, apalagi mereka menggunakan cara kampanye mengobok air di sungai.
Apa maksudnya Cara Kampanye Mengobok Air di Sungai?
Maksudnya seperti sekarang ini, antara Partai Koalisi berpura-pura meributkan diri antara Konvensi Rakyat, buatan mereka sendiri. Dimana internal partai koalisi mencoba mengobok-obok air di sungai, sehingga rakyat semakin bingung, dalam kebingungan ini, dimunculkan tokoh itu2 lagi, sejak Indonesia Reformasi, yaitu tokoh-tokoh tua yang mencoba memberika tema kampanye solusi Indonesia. Padahal, sebenarnya mereka sudah, dan pernah memerintah. Kini mereka duduk dibelakang, menikmati apa yang mereka lakukan disaat mereka memerintah.
Tidaklah heran munculnya, tokoh Calo Agama, yang dibantu oleh para penabuh gendangnya, seperti Direktur Polcomm Institute, Heri Budianto, yang dengan jelas-jelas mencoba menasehatkan Jokowi untuk tidak mencalonkan diri menjadi Capres dari PDI-P.
Faktanya Heri Budianto, bukan kader PDI-P.
Fakta lainnya Heri Budianto, memberikan pernyataan seperti di tulis di Kompas.com oleh Rahmat Fiansyah , dan editornya, Inggried Dwi Wedhaswary , Senin, 10 Maret 2014 | 08:57 WIB “Kalau pernah berjanji akan menyelesaikan Jakarta selama 5 tahun, mestinya ditepati. Bila nyapres, Jokowi tak tepati janji pada warga Jakarta,”katanya, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (9/3/2014) malam.
Faktanya Heri Budianto, mencoba menggalang, tabuhkan Spoiled Party seperti istilah Indonesianya, Poros Tengah, atau dalam bahasa politik Amerikanya, Penyembah Supporter Status Quo. Dengan mencoba berada dibalik survey yang dilakukan, seperti di tulis di Kompas.com oleh Ihsanuddin
dan editornya Wisnubrata, “Selama ini partai Islam diragukan, padahal kalau berkoalisi, sebagian besar masyarakat mampu untuk bersaing dengan partai nasionalis,” kata Direktur Polcomm Institute, Heri Budianto saat memaparkan hasil surveinya.
Dengan double down mengenai kasus kemenangan Gus Dur di pemilu 1999. Faktanya, tidak demikian, karena kepresidenan Gus Dur hanya seumur jagung.
Yang lucunya, setelah kemenangan yang diklaim beliau, mengenai poros tengah tidak terjadi dalam pemilu 2004, dan 2009. Justru Klaim Poros Tengah Memberikan Jawaban atas tuduhan bahwa Partai Calo Agama ini adalah bagian dari Skenario yang lebih Besar. Dimana, di Indonesia hanya ada 2 Partai, satu partai adalah Golkar, dimana Partai Calo Agama, ada didalamnya, lalu partai Demokrat Indonesia yang asli.
Kesimpulannya ini tidak dapat diambil jika pengamat hanya mengamatnya dari kurun waktu yang singkat. Untuk itu kita harus melihatnya dari awal Orde Baru, sampai Reformasi, dan kini lebih dari 15 tahun kemudian disebut Indonesia Abad 21.
Mengapa demikian?
Karena kemajuan teknologi, serta keterbukaan informasi, sehingga banyak pengamat amatiran, pengamat yang ingin tahu, dan para pengamat yang berpengalaman, yang bayaran, yang partisan bisa saling menguji teori mereka, atau mengambil kesimpulan terhadap kejadian-kejadian yang selama ini terjadi. Tidak seperti dulu, dimana TABU, dan PAMALI untuk Bertanya, Kritis, Menyangsikan pendapat pakar2 yang ada.
Kemajuan informasi tenknologi ini juga menjadikan wadah seperti Kompasiana, dimana Kompasiana menjadi Wadah bagi para pencari informasi, pemberi informasi, serta wadah dari para rakyat yang dahulunya tidak memiliki suara atau wadah mengeluarkan suaranya.
Tidaklah heran Kompasiana, menjadi terkenal sekali, bahkan pengunjung dari Amerika ada lebih dari 16 persennya kalau dihitung rata-rata perharinya.
Kembali ke Jokowi, dimana penulisan mengenai Jokowi, di Kompasiana sangat terbuka, ada yang pro dan ada yang kontra, ada yang SARA, seperti gerombolannya Raja Haji, dan kembarannya Aan, ada juga yang masih bingung.
Faktanya jika Jokowi menjadi Presiden Indonesia, Jakarta akan benar-benar dibenahi. Mengapa?
Faktanya
1. Ternyata Jakarta 80 persen infrastrukturnya harus mendapat dana dari pemerintah pusat.
2. Sungai, Kali, Got, dan gorong-gorongan adalah kewenangan pemerintah pusat. Karena sesuai dengan UUD 45 ayat 33.
3. Pembangunan infrastruktur Kereta, Bus, jalan raya lintas provensi yang biasa kalau disebut di AS, adalah interstate freeway, adalah wewenang pemerintah pusat.
4. 90 persen gedung bersejarah, gedung pemerintahan pusat ada di Jakarta.
5. 70 persen pekerja di Jakarta adalah warga bukan Jakarta. Jadi setiap harinya Jakarta kedatangan penduduk dari 2 provensi, seperti Jabar, dan Banten.
6. Pusat Militer adanya di Jakarta. Dimana militer, memiliki struktur yang berbeda dengan pemerintahan sipil. Jadi sering terjadi benturan, antara sipil dan militer.
7. Pusat Kepolisian ada di Jakarta, dimana semua kewenangan keamanan di Indonesia, dimulai di Jakarta.
Dari 7 fakta diatas, Heri Budianto, seperti terlihat apakah beliau tidak kompeten, atau pura-pura tidak tahu dengan keadaan di Jakarta, apalagi secara birokrasinya.
Untuk itu, menurut saya, beliau memang sengaja, untuk tidak memberika fakta yang nyata. Seperti sanggahan dari pengamat politik dari Soegeng Sarjadi Syndicate, Ridho Imawan Hanafi, yang jelas-jelas berbeda pendapat dengan beliau.
Dilaporkan di Kompas.com, “Jokowi juga melihat bahwa apa yang diputuskan partai untuknya merupakan keputusan untuk mengabdi pada kepentingan rakyat yang lebih luas,” ujarnya.
Hanafi, berbeda pendapat karena politiknya. Dan saya berbeda pendapat karena birokrasi nya di lapangan, dimana Jakarta adalah pusat negara dan pemerintahan Indonesia.
Kesimpulan saya, kembali kepada point di atas, bahwa Jika Jokowi menjadi Presiden Indonesia, tentunya Jakarta yang akan mendapat pembenahan besar2an, tidak seperti selama ini Rencana Jakarta Menjadi Kota Metropolitan di Indonesia yang Asli, hanya berakhir di Musium Jakarta, yang dapat anda kunjungi di hari kerja, seperti pengalaman salah satu Kompasioner Mbak Christie Damayanti.
Saya sangat berkeinginan Jokowi untuk maju mencalonkan diri menjadi Presiden Indonesia, karena keinginan saya melihat Indonesia dipimpin oleh manusia yang jelas, dan terbuka. Karena Politik itu tidak bisa terus dipakai dalam membangun Indonesia. Kita semua sudah dewasa, sudah bisa membaca Pancasila, dan UUD 45, jadi seharusnya tidak perlu lagi berpura-pura tidak tahu, apalagi pura-pura buta dan tuli.
Kompasianan, The Place For Politics
Salam Jokowi Presiden Indonesia
Jack Soetopo
Source : kompasiana.com
Post a Comment